KOBA-KOBA (AAM) SEBAGAI PAYUNG TRADISIONAL

(ket dok: salah satu mahasiswa asal Kab.Maybrat)
 

            Jayapura - Beberapa minggu yang lalu, saya sempat melihat postingan dari gambar  di atas yang di upload  melalui akun facebook. Seorang anak muda tampan dengan pede menggunakan Koba-Koba seakan-akan ingin melindungi dirinya dari terik matahari. Banyak sekali komentar positif yang kemudian membuat saya tertarik untuk menulis dengan menyamakan fungsi koba-koba seperti payung. Atau supaya lebih enak didengar, saya mengajak kita sama-sama untuk menyebutnya dengan “payung tradisional”. Sebagian besar suku-suku yang mendiami wilayah kepala burung pulau papua seperti suku Moi, Teminabuan, Tambrauw dan Maybrat dapat menggunakan benda ini sejak dahulu kala. Karena benda ini dapat memberikan beberapa manfaat kepada masyarakat dalam keberlangsungan hidup sehari-hari, diantaranya selain berfungsi sebagai payung, koba-koba digunakan sebagai tikar tidur, untuk kantong bekal, wadah parang saat berburu, dan ada juga yang menggunakannya sebagai tempat menyimpan surat-surat.  Wah menarik juga ini, kok bisa yaa.?

            Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita mengulas sedikit tentang cara pembuatan koba-koba dan bahan baku  apa saja yang digunakan ? oke….

            Sederhananya benda Ini terbuat dari daun pandan hutan, tanaman ini biasanya terdapat didaerah gunung-gunung berbatuan. Terlebih dahulu daun pandan dipotong dari pohonnya, lalu hilangkan duri yang terdapat di bagian kiri kanan dan tengah dari daun tersebut, kemudian mengasapi daun ini diatas api sampai selembut mungkin. Motif garis-garis diagonal di koba-koba ini didapatkan dari proses pelipatan yang dilakukan setelah proses pengasapan. Supaya helai-helai daun bersatu  menjadi koba-koba, helai-helai daun itu dijahit satu persatu secara berhimpitan menggunakan kulit kayu pohon genemo yang diikat pada jarum jahit yang sudah disiapkan. Bila ingin terlihat cantik, ornament benang bisa disematkan dengan berbagai motif, ada yang berbentuk kupu-kupu, motif segitiga dan lain sebagainya. Benda yang bermaterialkan daun dan anti air ini bisa awet sampai 3 tahun. Jadi selain bisa untuk berteduh dari sengatan sang surya, koba-koba juga bisa menjadi payung, cara pakainya sederhana saja. Cukup buka sisi ujungnya, taruh diatas kepala. Saat mencobanya di siang terik, rasanya memang teduh dan tidak pengap. Kepala juga tidak terasa terbebani karena ini benda ringan.

            Eehh sudahlah…… intinya secara garis besar seperti itu, maff jika saya tidak bisa menjelaskan sedetail mungkin cara pembuatannya. Bukan karena saya tidak cinta budaya, namun pada umumnya benda ini hanya dibuat oleh kaum perempuan. Namun ada hal menarik yang perlu kita bahas dan diskusikan dalam tulisan ini, terutama subtansial berbasis kearifan lokal dari benda ini yang kemudian kita sebagai generasi muda milenial perlu untuk melestarikannya. Terutama dari ancaman global (budaya barat) yang secara masif terus diadopsi, sehingga esensi dari nilai tradisional mulai pudar satu persatu bersama waktu. Mungkin karena nilai tawar dan pasaran yang terbatas sehingga benda-benda tradisional jarang untuk di pasarkan atau promosikan sebagai bagian dari pelestarian budaya itu sendir, Selain itu faktor gengsi juga turut berpengaruh dalam lunturnya budaya lokal, karena banyak generasi sekarang yang beranggapan bahwa jika kita masih menggunakan hal-hal yang berbasis lokal itu kita dianggap ketinggalan, kuno, kampungan dan lain sebagainya.

            Mungkin menurut saya ini anggapan yang sedikit keliru, mengapa.? Karena ketika kita berbicara mengenai budaya atau kebudayaan berarti kita berbicara soal manusia itu sendiri. Karena budaya berkaitan dengan harkat dan martabat dari manusia itu sendiri sehingga tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena pada hakikatnya Budaya sebagai falsafah hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi.  Budaya terbentuk dari berbagai aspek seperti ilmu pengetahuan, karya seni, agama, politik, bahasa dan lain sebagainya. menurut Moh Hatta “kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa”. Oleh karena itu, sebagai generasi yang mencintai budaya.! Mari kita sama-sama melestarikan sekalian mempromosikan budaya atau kebudayaan yang kita miliki kepada sesama manusia di belahan bumi lain, sebagai bagian dari menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang hakiki.

 

SEMOGA BERMANFAAT.!

 

(penulis : Corinus Ye Mate)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA RAKYAT DARI AIFAT TIMUR KAB.MAYBRAT (KAPES NEN & BUO MAFAM)

Mahasiswa/I Ayosami di Kota Studi Jayapura Berhasil Melaksanakan Musyawrah Organisasi Mahasiswa (Musorma).